HAKIKAT MANUSIA
1.
Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat
manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil
membedakan manusia dengan hewan meskipun antara manusia dan hewan banyak
kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Kesamaan secara biologis
ini misalnya adanya kesamaan bentuk (misalnya kera), bertulang belakang seperti
manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan
menyusui anak, pemakan segalanya, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia.
Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon
politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia
sebagai das kranke tieri (hewan yang sakit) (Drijakara, 1962:138).
Kenyataan
dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa
manusia dan hewan hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang
melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena
perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan, orang hutan, misalnya, dapat dijadikan manusia. Upaya
manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia
telah ditemukan. Charles Darwin dengan teori evolusinya telah berjuang untuk
menemukan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal.
Ada misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia
yang tidak sanggup diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu
suatu mata rantai yang putus. Ada suatu proses antara yang tak dapat
dijelaskan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia
muncul sebagai bentuk ubah dari primata atau kera melalui proses evolusi yang
bersifat gradual.
2. Wujud Sifat Hakikat
Manusia
Ada beberapa
wujud sifat hakikat manusia yang yang tidak dimiliki oleh hewan. Wujud sifat
hakikat manusia ini dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud
menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu:
1. Kemampuan Menyadari Diri
Kaum
Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan itu, manusia
menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan
manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan
dengan yang bukan aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya
membedakan. Lebih dari itu manusia dapat membuat jarak dengan lingkungannya,
baik yang berupa pribadi maupun nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya
berarah ganda. Kedua arah yang terdapat dalam bagan di atas di
dalam pendidikan perlu untuk dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah
keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke
dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
Yang lebih
istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak dengan dirinya
sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang menempatkan
posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri.
Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian
memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat kelebihan-kelebihan yang
dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat
demikian, seorang aku dapat berperan ganda yaitu sebagai subjek dan sekaligus
sebagai objek. Hal inilah yang disebut dengan pendidikan diri sendiri atau oleh
Langeveld disebut self forming.
2. Kemampuan Bereksistensi Diri
Selain
memiliki kemampuan menyadari diri, manusia juga memiliki kemampuan
bereksistensi. Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menerobos dan mengatasi
batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja yang
berkaitan dengan ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan kata lain, manusia
tidak terbelenggu dengan tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini
(sekarang), tetapi dapat menembus ke sana, ke masa depan, atau ke masa lampau.
Adanya kemampuan bereksistensi yang dimiliki oleh manusia tentu saja terdapat
unsur kebebasan pada manusia. Jadi, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti
hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada”
di muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu
tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, manusia tidak lebih dari
hanya sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak
pernah “meng-ada” atau “bereksistensi”. Kemampuan bereksistensi perlu dibina
melalui pendidikan. Peserta didik perlu diajar agar belajar dari pengalamannya,
belajar mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek
masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak
kanak-kanak.
3. Pemilikan Kata Hati
Kata hati (conscience
of man) juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara
hati, pelita hati, dsb. Conscience bermakna pengertian yang ikut serta
atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang
menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan
mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia. Pelita hati atau hati
nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang
memberikan penerangan tentang baik buruk perbuatannya sebagai manusia. Orang
yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang baik dan benar, buruk dan salah, ataupun kemampuan dalam mengambil
keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut
kepentingan diri) dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi,
kriteria baik-benar, buruk-salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau
buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dapat disimpulkan bahwa kata hati
adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah
bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral (perbuatan), kata
hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati
yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan
forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan
kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat)
yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4. Moral
Moral
merupakan suatu perbuatan yang menyertai kata hati. Dengan kata lain, moral
adalah perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat
jarak. Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu
perbuatannya itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam
hal ini diperlukan kemauan untuk menjembatani jarak di antara
keduanya. Yang dimaksud dengan kemauan adalah kemauan yang sesuai
dengan kodrat manusia. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang
sinkron dengan kata hati yang tajam adalah moral yang benar-benar baik bagi manusia.
Sebaliknya, moral yang yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam disebut
dengan moral yang buruk sehingga orang yang melakukan moral yang buruk ini
disebut orang yang tak bermoral. Moral disebut juga dengan etika.
Selain etika, juga terdapat kata yang pengertiannya sering disamakan oleh
orang, yaitu etiket. Sebenarnya, antara etika dan etiket tidakla sama.
etika tidak hanya berkaitan dengan perbuatan yang baik/benar, tetapi juga
salah/buruk, sedangkan etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun.
Dengan demikian, berdasarkan perbedaan pengertian antara etika dan etiket,
dapat dikatakan bahwa orang yang etiketnya tinggi (bersopan santun) bisa
jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral ini, dalam suatu pembelajaran,
peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral yang baik. Jika ini tidak
dilakukan, dunia pendidikan kita akan menghasilkan kaum intelektual yang tak
bermoral.
5. Kemampuan Bertanggung Jawab
Tanggung
jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan
kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu perbuatan itu dilakukan sehingga
sanksi apa pun yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma
agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi
jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai
pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
6. Rasa Kebebasan
Merdeka
adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang
saling bertentangan yaitu rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia”. Meskipun antara rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia” ini bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka
adalah rasa bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan
dengan kodrat manusia. Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan
petunjuk dari kata hati. Jika hal ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut
dengan kebebasan semu. Kebebasan semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang
berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya
seorang pembunuh yang habis membunuh berusaha mati-matian untuk menyembunyikan
diri (rasa tidak merdeka). Di sini terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan
erat dengan kata hati dan moral.
7. Kebiasaan Melaksanakan
Kewajiban Dan Menyadari Hak
Kewajiban dan
hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia
sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu,
tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Selanjutnya
kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya,
hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu itu
ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan
hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak
sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu keniscayaan
(Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia,
kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia
mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan,
hal tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari
melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan
dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas,
mengambil hak orang lain, dsb. Implementasi dari perbuatan ini adalah orang
akan merasa dikhianati, kecewa, dan akhirnya tumbuh sikap tidak percaya.
Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Sebagai suatu
keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia menjadi tidak merdeka. Mau atau
tidak harus menerima. Namun, terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat
dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih dengan konsekuensi jika taat, akan
meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot
martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan kewajiban ini sifatnya
relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak dan pelaksanaan
kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini dapat
dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena
pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, hak
asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau harapan yang
berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan.
8. Kemampuan Menghayati
Kebahagian
Hampir semua
orang merasakan kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan sebenarnya tak mudah
dijabarkan meskipun mudah dirasakan. Terdapat beberapa kata yang bersinonim
dengan kebahagiaan, misalnya senang dan gembira. sebagian orang mungkin
menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira
dikatakan sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi mengaanggap bahwa rasa
senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan sebab sifatnya lebih permanen
daripada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain,
kebahagian lebih merupakan integrasi atau rentetang dari sejumlah kesenangan.
Malah ada yang lebih jauh lagi berpendapat tidak cukup digambarkan sebagai
himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari
itu yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan
dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses
integrasi dari semuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang
disebut “bahagia”. Peliknya persoalan mungkin juga karena kebahagian itu lebih
dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati kebahagiaan,
aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa kebahagiaan itu sifatnya rasional padahal kebahgiaan yang tampaknya
didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian karena aspek kepribadian
yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan. Bukankan seseorang hanya
mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi
objek rasa bahagianya itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak
beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas
bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar dan
aspek rasa. Berarti dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak
terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya,
ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan
menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut
di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Menurut
hemat penulis, konsep kebahagiaan seperti yang disebutkan ini tampaknya dapat
diterima. Kebahagiaan pada dasarnya akan dapat dirasakan seseorang jika orang
tersebut dapat mengahayati suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini
sebenarnya tidak hanya terbatas pada suatu hal baik yang dialami oleh
seseorang, tetapi juga pada suatu hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sebuah
keluarga yang yang kemampuan ekonominya pas-pasan akan dapat merasakan
kebahagiaan jika ia menghayati kemiskinan yang dialaminya. Tidak sedikit orang
yang hidupnya miskin merasa tidak bahagia karena mereka tidak menghayati
kebahagiaan itu. Barangkali konsep “menghayati” ini sama dengan “bersyukur”
jika dikaitkan dengan agama. Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat senang
dapat dikategorikan sebagai orang yang bahagia. Tampaknya pendapata ini tak
dapat dibenarkan seratus persen. Adakalanya orang yang terlihat senang
sebenarnya tidak bahagia. Kesenangan yang terlihat padanya hanya merupakan
manipulasi terhadap orang lain. Ia barangkali tidak ingin orang lain tahu bahwa
dirinya menderita. Dengan demikian, untuk menutup penderitaannya itu, ia
memperlihatkan kepada orang lain bahwa dirinya senang. Di atas telah
disebutkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya
sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang
diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan
keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan
tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Apakah yang dimaksud
dengan usaha, norma, dan takdir? Perhatikan bagan berikut ini.
Usaha adalah
perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan
menghadapi itulah realitas hidup. Oleh karena itu masalah hidup harus
dihadapi. Selanjutnya, usaha untuk mengatasi masalah hidup itu harus bertumpu pada
norma-norma yang berlaku dalam agama dan masyarakat. Artinya, jika masalah
hidup itu diatasi tanpa memperhatikan norma-norma, orang tersebut tentu tidak
akan mengalami hidup yang merdeka. Dengan demikian, jika orang tersebut tidak
mengalami hidup yang merdeka, tentu dapat dikatakan bahwa ia tidak bahagia.
Setelah manusia mengatasi masalah dengan norma-norma yang berlaku, hal terakhir
yang dapat dilakukannya adalah menerima takdir. Takdir merupakan rangkaian yang
tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Ia erat berkaitan dengan
rangkaian usaha. Berarti seseorang baru dapat dikatakan sudah takdirnya jika ia
telah melalui dua rangkaian yang disebutkan tadi, yaitu usaha dan norma. Salah
jika ada orang yang menempatkan takdir lebih dahulu daripada usaha. Memang
sakit adalah takdir, tapi jika orang tidak berusaha untuk mengatasi sakit
tersebut, tentu kemungkinan besar sakitnya tidak akan sembuh.
Berkaitan
dengan wujud sifat hakikat manusia ini, sebenarnya menurut penulis masih ada
wujud sifat hakikat manusia yang lain yang tak dapat diabaikan, yaitu kemampuan
berbahasa. Hal ini pula yang membedakan antara manusia dan hewan (Hidayat,
2006: 24). Artinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa,
sedangkan hewan tidak. Akan tetapi, pernyataan ini janganlah disamakan dengan
ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat, yaitu bahasa binatang. Sebenarnya
yang dimaksud dengan manusia berbahasa, sedangkan hewan tidak adalah bahwa
hewan tidak memiliki karakteristik kebahasaan seperti yang dimiliki oleh
manusia. Karakteristik kebahasaan yang dimaksud, seperti unik, arbitrer,
sistematis dan sistemis, simbol, menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan
dengan bunyi-bunyi segmental, mengandung kriteria semantis atau fungsi semantik
tertentu, terbatas dan relatif tetap.
3. Dimensi-dimensi
Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya
1 Dimensi Keindividualan
Dikatakan
oleh Lyson bahwa individu adalah orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya
individu diartikan juga sebagai sebagai pribadi (Lysen, Individu dan
Masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya
telah memiliki potensi. Potensi yang dimaksud menurut penulis seperti yang
dikemukakan oleh Gardner. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki tujuh
kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika,
kecerdasan spasial, kecerdasan kinestik tubuh, kecerdasan musik, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan intra personal (Campbel, dkk., 2006: 2-3).
Kecerdasan-kecerdasan ini yang selanjutnya kita sebut sebagai potensi tentu
saja tidak sama dimiliki oleh setiap individu. Ada individu yang memiliki
kelebihan dalam hal kebahasaan, tetapi kurang pintar dalam hal musik, ada
individu yang lebih pintar matematika, tetapi tidak pintar tentang kebahasaan.
Oleh karena itu, setiap individu tidak boleh diperlakukan sama. Mereka ingin
terlihat berbeda dengan yang lain atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak
ada diri individu yang identik di muka bumi ini.
Penulis sangat setuju dengan
dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan di atas. Memang
benar bahwa tidak ada manusia yang identik dengan manusia lain di atas
permukaan bumi ini. Bahkan, anak yang terlahir kembar pun pada hakikatnya tidak
memiliki karakter yang persis sama. Dengan kata lain, masing-masing ingin
mempertahankan kekhasannya sendiri. Kekhasan yang dimaksud ini seperti kekhasan
dalam cita-cita, cara belajar, cara menghadapi dan menyelesaikan masalah, cara
berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya kekhasan yang dimiliki oleh
setiap manusia ini, dalam proses pembelajaran kekhasan ini tentu harus
diperhatikan oleh peserta didik. Tenaga pendidik tidak dapat boleh memaksakan
kehendaknya kepada kepada subjek didik.
Menurut
penulis, memang usaha untuk memperhatikan peserta didik berdasarkan kekhasan
yang dimilikinya merupakan usaha yang baik. Akan tetapi, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana cara mengimplementasikan hal ini dalam
pembelajaran? Sebagai contoh, apa yang harus dilakukan terhadap anak didik yang
tidak suka pelajaran bahasa Indonesia saat materi bahasa Indonesia diajarkan
oleh tenaga pendidik? Apakah anak didik tersebut diminta oleh gurunya untuk
keluar atau diam saja? Pertanyaan seperti ini tampaknya sering dihadapi oleh peserta
didik. Contoh lain disebutkan, misalnya, anak didik memiliki berbagai gaya
belajar. Ada anak didik yang mudah belajar kalau hanya dengan berdiskusi
bersama-teman-teman-teman sekelas, ada anak didik yang mudah belajar hanya
dengan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya, ada anak didik yang
mudah belajar dengan cara langsung mempraktikkan, ada pula anak didik yang
mudah belajar hanya dengan membaca buku. Bagaimanakah gaya belajar yang
bervariasi ini dapat diatasi oleh pendidik dalam suatu proses pembelajaran? Hal
seperti ini tampaknya perlu untuk dikaji secara spesifik. 3.2 Dimensi
Kesosialan
Setiap anak
yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini, setiap
orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga
penjara merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap manusia
karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan
bergaul itu secara mutlak.
2.Dimensi Kesusilaan
Susila
berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang
lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup
hany dengan berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung
kejahatan terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga
memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering
digunakan sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket
(persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan
dikatakan tidak beretika dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan
sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa
dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan
orang lain.
Susila
sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan
erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom,
nilai heteronom, nilai keagamaan.
Dalam
kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran
dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam
pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
3 Dimensi Keberagamaan
Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan
bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama
melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan
perguruan tinggi.
4. Pengembangan Dimensi
Hakikat Manusia
a. Pengembangan yang utuh
Pengembangan
dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi
hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan
untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. b. Pengembangan yang Tidak
Utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di
dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan
untuk ditangani.
D. Sosok Manusia
Indonesia Seutuhnya
Pengertian
sosok manusia Indonesia seutuhnya ini adalah perpaduan antara aspek jasmani dan
rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan,
antara aspek kognitif, afektif, psikomotor (Tirta Raharja dan Sulo, 2006:25).
Pengertian tentang sosok manusia Indonesia seutuhnya ini tampaknya sejalan
dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003:7).
Kesimpulan
Manusia
sangat jelas berbeda dengan hewan. Hal ini dapat dilihat melalui wujud sifat
hakikat manusia, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi,
kepemilikan kata hati, moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan
hak, kemampuan menghayati kebahagiaan, kemampuan berbahasa. Ditilik dari segi
lain, manusia ternyata memiliki dimensi-dimensi yang meliputi dimensi individual,
sosial, susila, dan agama. Dalam suatu proses pembelajaran, baik wujud sifat
hakikat manusia maupun dimensi-dimensi manusia yang telah dimiliki oleh setiap
peserta didik perlu dikembangkan. Tujuannya tentu saja agar mereka lebih tahu
eksistensi mereka di atas permukaan bumi ini dan agar mereka lebih tahu bahwa
mereka adalah makhluk ciptaan Allah yang pada hakikatnya berbeda dengan makhluk
yang lain sehingga akan terlahir manusia Indonesia seutuhnya seperti yang
diinginkan masyarakat, bangsa, dan agama.
Daftar Bacaan
Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences. Depok: Intuisi Press. Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat
Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: Rosdakarya.
Tirtaraharja, Umar dan L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan.
Bandung: Rineka Cipta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar